cerpen bermain sepak bola


Bermain Sepak Bola
Oleh : Farid merah


Sore itu aku bangun dari tidur siangku, gara - gara suara teman - teman adikku yang memanggil - memanggil nama adikku dari depan rumah hendak mengajak ia bermain bola.
Aku bangun menghampiri mereka.
"kalian semua mencari wahab? Tanyaku .
"Waaaah ada mas Zirah... iyaa  mas ... mas Zirah... mas Zirah kapan datang mas...? Teriak dan tanya mereka semua padaku.
Aku tersenyum menanggapi teriakan dan tanya mereka yang sepertinya rindu padaku. "Ehhh ... iyaa iyaa .. mas baru datang tadi malam hehehe... kalian tunggu di teras sini bentar yaa, mas mau manggil wahab di kamarnya".
Aku cari ia di kamarnya, ternyata tidak ada. Aku ke kamar bapak dan bunda juga tidak ada.
Aku naik ke lantai atas di sana ada kamar kakakku dan kamarku, di kamar kakakku juga tidak ada, aku cari di kamarku dan ada, aku lihat ia sedang membuka - buka dan membacai arsip koran yang aku kumpulkan dan membaca beberapa buku kumpulan esai milik Dhandy Laks.
Aku tegur ia, "apa yang kamu cari?
Ia malah membacakanku sebuah bagian berita di koran hari ini yang kubeli tadi pagi.
"Koran hari ini memberitakan langit di daerah pinggiran kotaku mulai dijiret oleh kabel-kabel internet, yang menggemukkan expansi perusahaan jasa jaringan nirkabel yang memanfaatkan udara untuk keuntungan pribadinya.
Kemudian ia bertanya. "Mas apakah berita di koran ini juga mulai akan menjiret dan membahayakan ekonomi warga kampung kita dengan berbagai macam iklan paketan data kuota internet?
Sontak aku kaget, dan sekaligus merasa geli mendengar pertanyaan yang keluar darinya, aku bingung harus menanggapi dengan bagaimana semua pertanyaannya itu.
"Ya Ampun bagaimana mungkin seorang anak yang baru  smp kelas 2 bisa melontarkan pertanyaan seperti itu padaku... hahahahaha ini keren sekaligus lucu" pikirku.
"Sini ... sini... di bawah ada teman - temanmu, mereka mau ajak kamu main bola sepertinya.
"Waah yang bener mas". Jawabnya.
Mendengar aku memberitahu bahwa ada teman - temannya yang sedang menunggunya di bawah ia seperti sedang melupakan pertanyaannya tadi.
"Iyaa lihat sendiri saja sana", jawabku.

"Okeh mas kalau begitu", dia berlari turun ke bawah.

"Heeeehhh... tegurku padanya, ia langsung berhenti.
"Jadi mau ku jawab kapan pertanyaan itu? Tanyaku.
"Bagaimana kalau nanti mas, setelah main bola".
"Kalian main bola di mana?
"Di tanah kosong kampung tanah merah yang hendak dijadikan pemakaman umum", jawabnya.
Ia lari menghampiri teman - temannya.
"Waaaaw menarik sekali, okeh nanti mas nyusul yaa". Jawabku dengan teriak.

Satu jam kemudian aku menyusul mereka bermain bola di tempat itu. Aku lihat ramai sekali anak - anak seusia adikku yang bermain bola di tanah pemakaman belum jadi itu. Aku parkir motorku di depan gerbang makam dan masuk. Ku lihat yang bermain bola di sana bukan hanya gerombolan adik - adikku saja, tapi juga masih banyak gerombolan anak - anak lain, yang kampungnya berdekatan dengan makam yang ada di kampung ini. Ku lihat di lahan paling pojok kiri sana ada dua gundukan tanah berpapan nama berbentuk salib dan yang satu papan dengan bentuk seperti biasanya. Aku panggil adikku yang sedang duduk menunggu giliran gerombolannya bermain bola.
"Wahab ... siniii ! Teriakku.
"Woooii iyaa mas". Ku lihat ia lari menghampiriku.
"Apa mas?
"Ini makam sudah ada penghuninya bodoh".
"Terus? Tanyanya.
"Itu tidak sopan wahab".
"Apanya yang tidak sopan mas? Tanyanya.
"Kamu main bola di pemakaman yang sudah ada penghuninya".
"Jadi apa aku dan teman - teman harus minta izin ke mereka berdua dulu, penghuni makam ini yang paling pertama mas? Bagaimana caranya? Tanyanya.

"Astaga", gumamku dalam hati karena bingung.
"Mereka sudah mati mas, biarkan". Celetuk ia.
"Walau pun sudah mati mereka tetap butuh tanah, dan ini tanah untuk mereka tinggal". Jawabku.
Lalu bagaimana dengan kami yang masih hidup? Apa mas pikir kami juga tidak butuh tanah untuk bermain bola? Jawabnya.

Komentar

Postingan Populer